Bukanlah Sebuah Pencitraan, melainkan Sebuah Harapan

Kurang lebih 7 tahun silam, detik-detik dimana aku akan dimasukkan dipenjara suci. 

Dulu aku yang begitu polos, dibesarkan utuh dengan kasih sayang ibu, ayah dan saudara-saudara beserta lingkungan keluarga yang begitu Islami. Apapun yang aku inginkan ada disana dan selalu tersedia. 

Perasaanku kala itu begitu sangat bahagia dan sempurna, karena memang dari dulu keinginanku yang begitu besar untuk masuk pesantren yang kerap dikenal pondok Suci.

kelulusan MTs ku tinggal menunggu beberapa bulan saja dan aku sudah mempersiapkan diri  untuk menuju duniaku yang lebih Islami lagi. Dunia yang membuatku semakin dekat dengan Robbku.

Sebenarnya dari sejak aku lulus MI aku ingin masuk pesantren itu, hanya saja aku harus mengalah, karena bebarengan dengan kakakku masuk pesantren juga dan ayahku menjanjikan setelah aku lulus MTs saja.

Tibalah saat bagianku untuk memasuki dunia pesantren, segala jiwa telah kumatangkan, pikiran yang kubulatkan, hati yang kutekadkan, raga yang telah kupersiapkan untuk menuju dunia baru dan sebuah cita-cita anak kecil untuk menjadi seorang hafidzah yang telah diangan-angan kini ada didepan mata.

Namun, semuanya sirna setelah kejadian itu

Segala angan laksana dihancurkan menjadi kepingan-kepingan kaca yang retak namun tetap memantulkan cahayanya. Segala niat dan persiapan yang telah jauh hari digenggam harus bisa direnggangkan perlahan. 

Ayahku masuk Rumah Sakit, berbaring lemah disana hingga seorang dokter memvonis ayahku menderita stroke.

Aku yang kala itu masih begitu lugu nan polos benar-benar menderita dan menjerit bagaikan anak kecil yang direbut dan dirusak boneka kesayangannya.  

Kenyataannya jeritan itu tak dapat didengar siapapun, hanya berada didalam hati dan tertutupi oleh senyum semringah seolah tak terjadi apa-apa.

Duniaku 90 derajat mengalami perubahan.

Aku masuk di SMK yang mana merupakan sebuah yayasan yang hanya menampung anak fakir, miskin dan dhuafa. 

Sungguh menyayat hati, tak diduga aku masuk disana dan dianggap kaum dhuafa.

Bagaimanapun aku tidak bisa berkutik dan tak mampu melakukan apapun.

Di Yayasan itu aku benar-benar dididik dan dimotivasi untuk bisa hidup mandiri. Memperbaiki apa-apa yang bisa diperbaiki. Aku sangat tersadar hanya ibuku lah yang menggantikan posisi ayahku sebagai kepala keluarga.

Bertemu dan berteman dengan orang-orang yang kehidupannya jauh lebih menderita daripada yang kualami membuatku lebih banyak bersyukur. Aku tidak bisa membayangkan teman-temanku yang telah ditinggalkan salah satu orang tuanya atau bahkan ada yang keduanya telah tiada. Bagaimana mereka melepas kerinduannya, aku tidak bisa membayangkan itu. 

Waktu teruslah berputar, kehidupan teruslah berjalan. Jiwa Kita tidak boleh mati didalamnya. Kita harus menghidupkan jiwa-jiwa walau hampir kering. 

Masa putih abu-abu yang kurasakan waktu itu agaknya berbeda dengan yang lainnya. Ketika banyak diantara mereka yang merasakan manisnya kisah cinta remaja, aku hanya bisa merasakan tumpukan tugas, perdebatan dan permasalahan organisasi, belajar, belajar dan terus mengejar prestasi.

Hingga aku mendapati diriku sebagai peringkat pertama nilai UN terbaik di SMK ku. 

Lemah, aku sungguh lemah.

Setelah dinyatakan lulus namun belum ada pelepasan kelulusan aku banyak mencari informasi mengenai lowongan pekerjaan. 

Memasukkan semua surat lamaran di tiap-tiap lowongan. Hingga seminggu kemudian aku mendapati telepon untuk mendatangi sebuah interview. Dari hasil percakapan itu memberikan tanda-tanda yang begitu baik. Seminggu setelahnya, aku dihubungi kembali dan diterima bekerja disana. Aku bekerja di sebuah Yayasan yatim dan Dhuafa. Entah takdir ataupun apa, lagi-lagi aku dipertemukan dengan lingkungan yang membuatku lebih banyak bersyukur kembali. Bekerja sebagai relawan dan pencari donatur memunculkan jiwa-jiwa sosial dalam diriku. Mengajak orang-orang untuk berdonasi, Mendatangi satu persatu rumah para dermawan, dijamunya dengan ramah, bahkan tak jarang untuk dibawakan makanan. 

Setiap kali bertemu para dermawan, lagi dan lagi membukakan jiwa sosial dalam diriku. Berkata pada diri sendiri, bahwa masa mendatang akulah sang donatur tersebut dan ekonomi tak lagi menjadi beban masalah.

Selang beberapa minggu bekerja, aku juga tak lupa akan keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Walaupun telah tertolak oleh berbagai Universitas Negeri maupun swasta melalui jalur beasiswa. Bermodalkan niat dan tekad untuk bisa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, Aku mengambil resiko besar yaitu melalui jalur mandiri. Dimana aku benar-benar mandiri dalam segala hal yang akan kuhadapi. Ibuku pun sudah lepas tangan untuk seluruh pembiayaan terkait. Aku juga tidak ingin wanita tua yang berlagak menguatkan tulang-tulangnya itu masih harus ditumpuk beban lagi. 

Nomor antrean kuambil, menunggu giliran untuk dilayani. Beberapa menit kemudian, nomor yang ada digenggamanku disebutkan yang menandakan giliranku untuk melakukan pendaftaran. Diakhir penjelasan, wanita muda yang merupakan seorang petugas menginformasikan terkait biaya pendaftaran ulang. Aku terkejut dalam hati, seraya berkata "oh Tuhan, aku tidak mempunyai uang sebanyak itu".

Di tengah perjalanan pulang, dua roda sepeda berputar mengimbangi otak yang juga berputar perlahan. Ada tetesan air yang tiba-tiba mengalir, kulihat langit masih cerah. Meraba pipi yang penasaran dari mana air itu mengalir, kuraba lagi ternyata bersumber dari mata. Air mataku menetes tak terasa. Aku lemah sangat lemah, kupasrahkan semua pada yang menciptakan Segalanya. 

Orang yang tak pernah terlintas dalam pikiranku, tiba-tiba saja muncul. Beliau adalah guru Extrakulikuler di SMK ku. Aku Mencoba menceritakan problematika yang kualami. Pertolongan Tuhan memang selalu nyata, Beliau mau meminjamkan uangnya untuk biaya daftar ulang. Seketika itu pula aku mengayuh sepeda tua yang kupunyai dan aku resmi menjadi seorang mahasiswa dihari itu.

Syukur penuh syukur kuucapkan kepada Tuhan. 

Kujalani hari-hariku sebagai seorang mahasiswa. Pagi mengajar ekstrakulikuler di sebuah sekolah SMP kemudian lanjut berangkat kuliah, siang berangkat kerja dan malampun masih berlanjut mengerjakan tugas. Disamping itu, aku juga mengharuskan diri untuk ikut organisasi baik didalam kampus maupun diluar kampus. Aku membentur-benturkan diri untuk bertahan hidup serta menghidupkan pendidikanku.

Demi apakah saya melakukan itu? 

Tak berhenti disana, halangan demi rintangan selalu menghadangku. 

Dan demi apakah saya bertahan? 

Ada sebuah cita-cita yang digantung, ada keinginan yang harus digapai dan ada sebuah harapan yang harus diperjuangkan, yaitu melanjutkan harapan ayahku untuk membangun sebuah pesantren besar di tanah kelahirannya. Seusai sholat isya' berjamaah, ayahku pernah menunjukkan denah pondok yang akan ia bangun. Aku masih kecil saat itu, yang hanya bisa menyimak tiap kata yang keluar dari bibirnya sambil menunjuk pada gambar yang berada di kertas lusuh hasil pemikirannya. Tahun demi tahun, membuatku menyadari bahwa harapan itu harus tetap hidup dan bersinar. Hingga akupun bisa menjadi seorang arsitek dan mewujudkan keingingan agung ayahku. 


Komentar